Angka kemiskinan ekstrem di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) tahun ini masih berada di kisaran 19 persen. Angka ini jauh di atas rata-rata nasional dan menempatkan NTT sebagai salah satu daerah dengan beban kemiskinan tertinggi di Indonesia. Pertanyaan yang muncul adalah: mengapa begitu banyak program, anggaran, dan intervensi tidak mampu menekan kemiskinan ekstrem secara signifikan?
Dari perspektif administrasi dan manajemen publik, setidaknya ada beberapa faktor utama yang bisa dijelaskan.
Pertama, perencanaan dan implementasi program belum adaptif.
Kita bisa melihat kasus proyek PAMSIMAS di Desa Persiapan Daefadin, Kabupaten Rote Ndao, yang gagal memberikan akses air bersih dan sanitasi layak. Program yang seharusnya menjawab kebutuhan dasar masyarakat justru mengecewakan karena perencanaan teknis tidak mempertimbangkan kondisi geografis dan sumber daya lokal. Akibatnya, masyarakat tetap hidup dalam kesulitan, sementara anggaran sudah terserap.
Kedua, koordinasi lintas sektor masih lemah.
Kemiskinan ekstrem bukan sekadar soal penghasilan rendah, tetapi terkait erat dengan pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan akses pangan. Namun, fakta menunjukkan bahwa dana PIP (Program Indonesia Pintar) senilai Rp 36 miliar di NTT justru dikembalikan ke kas negara karena tidak dimanfaatkan sekolah-sekolah. Ini mencerminkan lemahnya komunikasi, supervisi, dan koordinasi antar-lembaga. Potensi memperbaiki kualitas SDM akhirnya terbuang percuma.
Ketiga, ketergantungan pada bansos.
Beberapa laporan menunjukkan bahwa penurunan kemiskinan di NTT selama ini lebih banyak disokong oleh bantuan sosial. Namun, bantuan tanpa pemberdayaan hanya membuat masyarakat “tertolong sementara”, bukan mandiri. Di sisi lain, peluang kerja, pelatihan keterampilan, dan akses modal usaha produktif masih minim. Akibatnya, kemiskinan ekstrem cenderung stagnan.
Keempat, kerentanan sektor pertanian.
Mayoritas masyarakat miskin di NTT bekerja di sektor pertanian subsisten yang sangat rentan terhadap perubahan iklim dan serangan hama. Contoh nyata adalah 37 keluarga di Desa Wewo, Manggarai, yang kehilangan panen akibat hama wereng batang coklat. Tanpa sistem proteksi, penyuluhan, dan mitigasi risiko pertanian, masyarakat mudah jatuh lebih dalam ke kemiskinan ekstrem.
Kelima, kesenjangan antarwilayah.
Kabupaten-kabupaten tertentu menjadi “kantong kemiskinan ekstrem”. Data menunjukkan Sumba Tengah memiliki tingkat kemiskinan hingga 31,78% dengan kemiskinan ekstrem 19,11%. Kabupaten lain seperti Sabu Raijua dan Sumba Timur juga masih di atas 28%. Meski pemerintah telah menetapkan lima kabupaten prioritas (Sumba Timur, Timor Tengah Selatan, Rote Ndao, Sumba Tengah, dan Manggarai Timur), namun hingga kini perubahan signifikan belum tampak.
Apa yang Harus Dilakukan?
Menghapus kemiskinan ekstrem di NTT bukan mustahil, tetapi membutuhkan tata kelola yang lebih serius:
1. Penguatan kapasitas pemerintah daerah dan desa. Aparatur perlu dibekali kemampuan manajemen proyek, evaluasi berbasis data, serta penggunaan teknologi untuk monitoring.
2. Desain program yang responsif dengan kondisi lokal. Pendekatan bottom-up harus diutamakan agar kebijakan sesuai kebutuhan nyata di desa, bukan sekadar target administratif.
3. Transformasi bansos menjadi pemberdayaan. Bantuan sosial harus diikuti program pelatihan keterampilan, akses permodalan, dan pengembangan usaha lokal.
4. Peningkatan kualitas SDM. Dana pendidikan tidak boleh terbuang. Program vokasi dan pelatihan kerja harus diarahkan pada sektor potensial seperti pertanian, perikanan, pariwisata, dan kerajinan.
5. Akuntabilitas dan transparansi. Setiap rupiah anggaran harus diawasi secara terbuka, dengan audit independen dan partisipasi masyarakat.
Penutup
Kemiskinan ekstrem di NTT adalah cermin dari persoalan manajemen pembangunan yang belum efektif. Banyak program yang “ada” tapi tidak “mengena”. Selama administrasi publik masih terjebak pada pola karitatif dan seremonial, angka 19 persen akan sulit diturunkan.
NTT membutuhkan kepemimpinan daerah yang berani melakukan terobosan, birokrasi yang adaptif, dan masyarakat yang dilibatkan dalam setiap tahap pembangunan. Dengan strategi yang lebih cerdas dan konsisten, kemiskinan ekstrem di NTT bisa benar-benar menjadi bagian dari masa lalu, bukan masa depan.
Ricky Ekaputra Foeh undana: Ricky Ekaputra Foeh, M.M.
Dosen Administrasi Bisnis, FISIP Universitas Nusa Cendana (Undana)
Ricky Ekaputra Foeh adalah akademisi sekaligus praktisi di bidang Ilmu Administrasi Bisnis. Saat ini beliau mengajar di Program Studi Ilmu Administrasi Bisnis, FISIP Undana, dengan fokus pada pengembangan SDM, manajemen strategis, kewirausahaan, serta inovasi bisnis digital.
Selain berkiprah di dunia akademik, Ricky aktif menulis opini dan analisis di berbagai media, khususnya terkait isu-isu ekonomi, bisnis, dan kebijakan publik. Pemikiran kritis dan gaya tulisannya yang lugas menjadikannya salah satu akademisi muda yang vokal mendorong tata kelola pemerintahan dan bisnis yang adaptif, inovatif, serta berpihak pada kepentingan masyarakat.(**)