Indonesia di Ambang Middle Income Trap, Bertumbuh Tanpa Pernah Naik Kelas Oleh: Ricky Ekaputra Foeh.,M.M Dosen FISIP UNDANA - Pengamat Sosial

Pemred Liputan NTT
0

KUPANG, LIPUTANNTT.com,Indonesia gemar merayakan stabilitas. Dalam hampir setiap pidato ekonomi, kata-kata seperti “tumbuh positif”, “fundamental kuat”, dan “resilien” selalu diulang. Selama lebih dari dua dekade, pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen per tahun telah menjadi semacam 'mantra nasional'. Angka ini terus dikutip, seolah dengan mencapainya Indonesia otomatis melaju menuju status negara maju.


Namun setelah puluhan tahun mengulang narasi yang sama, posisi Indonesia nyaris tidak berubah secara fundamental. Pada 2023, pendapatan per kapita Indonesia berada di kisaran USD 4.900–5.000. Status negara berpendapatan menengah atas memang telah diraih, tetapi jarak menuju kategori negara berpendapatan tinggi versi Bank Dunia, sekitar USD 13.845 per kapita, masih sangat lebar. Dengan laju pertumbuhan saat ini, Indonesia membutuhkan waktu belasan hingga dua puluh tahun untuk mencapainya, itu pun dengan asumsi tidak terjadi guncangan besar dalam ekonomi global.


Kondisi ini memunculkan pertanyaan yang lebih mendasar. Masalahnya bukan lagi apakah Indonesia tumbuh, melainkan mengapa pertumbuhan tersebut gagal mengubah kelas sosial-ekonomi bangsa ini secara nyata.

Di sinilah konsep Middle Income Trap atau jebakan pendapatan menengah menjadi relevan. Bukan sebagai istilah akademik yang jauh dari realitas, melainkan sebagai diagnosis atas pola pembangunan yang selama ini dijalani. Middle Income Trap menggambarkan situasi ketika sebuah negara berhasil keluar dari kemiskinan ekstrem, tetapi gagal melakukan transformasi struktural untuk menjadi negara maju. Negara tetap tumbuh, namun pertumbuhannya makin lambat, rapuh, dan tidak menghasilkan lonjakan kesejahteraan.


Ciri-ciri jebakan ini berulang di banyak negara. Produktivitas stagnan, upah naik tanpa peningkatan nilai tambah, daya saing industri melemah, dan struktur ekonomi bertumpu pada sektor-sektor yang mudah tumbuh tetapi sulit berkembang. Negara berada dalam posisi serba tanggung. Terlalu mahal untuk bersaing dengan negara miskin, namun terlalu lemah untuk menantang negara maju.


Sejarah global menunjukkan betapa serius persoalan ini. Dari lebih dari 100 negara berpendapatan menengah sejak 1960-an, hanya sekitar 13 yang berhasil naik menjadi negara berpendapatan tinggi. Sisanya terjebak selama puluhan tahun. Amerika Latin menjadi contoh paling gamblang. Ekonominya tumbuh, tetapi tidak pernah benar-benar maju. Indonesia hari ini menunjukkan terlalu banyak kemiripan dengan kisah tersebut, sementara keberanian untuk mengakuinya secara terbuka masih terbatas.

Salah satu ilusi terbesar yang mengaburkan masalah ini adalah fetisisme terhadap angka pertumbuhan 5 persen. Pertumbuhan tersebut sering diperlakukan sebagai prestasi, padahal dalam konteks negara berpendapatan menengah, angka ini lebih menyerupai ambang minimum untuk bertahan hidup, bukan tiket menuju negara maju.


Yang jauh lebih penting dari pertumbuhan adalah struktur di baliknya. Lebih dari separuh PDB Indonesia masih ditopang konsumsi rumah tangga. Ekspor didominasi komoditas primer. Sementara itu, industri manufaktur yang secara historis menjadi mesin utama kenaikan produktivitas dan upah justru kehilangan peran strategisnya.


Kontribusi manufaktur terhadap PDB turun dari lebih dari 27 persen pada awal 2000-an menjadi sekitar 18–19 persen saat ini. Penurunan ini bukan sekadar fluktuasi siklus bisnis, melainkan gejala deindustrialisasi dini yang terjadi sebelum Indonesia mencapai tingkat pendapatan tinggi. Negara-negara yang berhasil keluar dari Middle Income Trap tidak menempuh jalur ini. Korea Selatan, Taiwan, dan kemudian China menjaga manufaktur sebagai tulang punggung ekonomi sambil terus meningkatkan kompleksitas teknologi dan nilai tambahnya. Indonesia justru bergerak sebaliknya. Ekonomi tumbuh, tetapi semakin dangkal.


Pola pertumbuhan yang dangkal ini diperkuat oleh ketergantungan berlebihan pada komoditas. Lonjakan harga batubara, nikel, sawit, dan mineral lain memang kerap menyelamatkan Indonesia dalam jangka pendek. Namun ekonomi berbasis komoditas menciptakan ilusi kemakmuran tanpa membangun fondasi jangka panjang. Nilai tambahnya rendah, volatilitasnya tinggi, dan kontribusinya terhadap peningkatan keterampilan tenaga kerja sangat terbatas.


Lebih berbahaya lagi, ketergantungan komoditas sering melemahkan dorongan reformasi struktural. Selama harga global tinggi, tekanan untuk berinvestasi pada industri berteknologi, riset, dan peningkatan produktivitas cenderung mereda. Negara merasa berada dalam kondisi aman, padahal sebenarnya sedang menggadaikan masa depannya. Banyak negara terjebak Middle Income Trap karena gagal keluar dari pola ini. Indonesia berisiko mengulang kesalahan yang sama, hanya dengan komoditas yang berbeda.

Di tengah struktur ekonomi yang rapuh ini, Indonesia kerap mengandalkan narasi bonus demografi sebagai harapan masa depan. Hingga sekitar 2035, mayoritas penduduk berada pada usia produktif. Dalam teori ekonomi, kondisi ini seharusnya mendorong pertumbuhan pesat. Namun demografi hanya menyediakan peluang, bukan jaminan.


Fakta di lapangan menunjukkan kualitas sumber daya manusia masih tertinggal. Rata-rata lama sekolah masih di bawah sembilan tahun. Kualitas pendidikan dasar dan menengah lemah. Skor PISA konsisten berada di papan bawah. Pada saat yang sama, pengangguran terdidik tetap tinggi, mencerminkan ketidaksesuaian antara sistem pendidikan dan kebutuhan ekonomi.


Tanpa lonjakan kualitas manusia, bonus demografi justru berpotensi berubah menjadi beban. Tenaga kerja melimpah, tetapi produktivitas rendah. Upah tertekan, ketimpangan melebar, dan ketegangan sosial meningkat. Negara-negara yang berhasil keluar dari Middle Income Trap memahami bahwa pendidikan adalah investasi strategis jangka panjang. Korea Selatan membangun fondasi pendidikan sains dan teknologi jauh sebelum menjadi negara maju. Indonesia hingga kini masih lebih sibuk memperluas akses daripada memastikan mutu.


Masalah serupa terlihat di pendidikan tinggi. Jumlah perguruan tinggi dan lulusan sarjana terus meningkat, tetapi peningkatan ini tidak diikuti lonjakan inovasi. Belanja riset Indonesia hanya sekitar 0,3–0,4 persen PDB, jauh tertinggal dari negara-negara Asia Timur yang mengalokasikan 2 hingga 4 persen.


Tanpa riset, inovasi sulit lahir. Tanpa inovasi, lompatan produktivitas hampir mustahil terjadi. Universitas lebih banyak menghasilkan pencari kerja daripada pencipta teknologi. Publikasi ilmiah meningkat, tetapi jarang terhubung dengan kebutuhan industri. Kampus dan pabrik hidup di dua dunia yang terpisah. Dalam ekonomi berbasis pengetahuan, kondisi ini merupakan kelemahan struktural yang serius.


Kelemahan tersebut juga tercermin dalam kebijakan hilirisasi. Hilirisasi sumber daya alam sering dipuji sebagai terobosan, tetapi hilirisasi bukan tujuan akhir. Ia hanya alat. Tanpa penguasaan teknologi, hilirisasi berisiko menciptakan industri bernilai tambah rendah yang tetap bergantung pada modal dan teknologi asing. Indonesia menjadi lokasi produksi, sementara pusat inovasi dan keuntungan strategis tetap berada di luar negeri.


Negara yang berhasil keluar dari Middle Income Trap menggunakan industrialisasi sebagai proses belajar nasional. Pabrik menjadi ruang transfer teknologi, pengembangan insinyur lokal, dan inkubasi perusahaan nasional. Tanpa strategi ini, hilirisasi hanya memperpanjang ketergantungan.


Semua persoalan ini bermuara pada satu isu kunci yang sering luput dari perdebatan publik, yaitu produktivitas. Produktivitas tenaga kerja Indonesia masih jauh tertinggal dibanding negara maju di Asia Timur. Upah minimum naik setiap tahun, tetapi produktivitas tidak bergerak sebanding. Tanpa lonjakan produktivitas, kenaikan upah justru menggerus daya saing industri dan membuat pertumbuhan semakin rapuh.


Produktivitas tidak bisa ditingkatkan melalui slogan. Ia membutuhkan pendidikan berkualitas, teknologi, manajemen modern, serta inovasi proses dan produk yang berkelanjutan. Semua itu menuntut konsistensi kebijakan jangka panjang.


Di sinilah faktor kelembagaan menjadi penentu. Regulasi yang tumpang tindih, kebijakan yang mudah berubah, serta birokrasi yang lambat menciptakan ketidakpastian. Investor jangka panjang membutuhkan kepastian arah, bukan sekadar insentif sesaat. Negara-negara Asia Timur yang berhasil keluar dari jebakan pendapatan menengah memiliki disiplin kebijakan lintas pemerintahan. Arah pendidikan dan industrialisasi tidak berubah setiap lima tahun. Indonesia masih kesulitan menjaga kesinambungan tersebut.


Indonesia belum terlambat, tetapi jendela peluangnya semakin sempit. Banyak ekonom menilai periode 2025–2035 sebagai fase penentuan. Jika dalam dekade ini Indonesia gagal meningkatkan produktivitas dan nilai tambah secara signifikan, risiko terjebak Middle Income Trap akan semakin besar. Pertumbuhan 5 persen tidak lagi memadai. Indonesia membutuhkan pertumbuhan berkualitas yang ditopang inovasi, industrialisasi cerdas, dan peningkatan kapasitas manusia.


Keluar dari Middle Income Trap menuntut keputusan sulit. Reformasi pendidikan harus berbasis kualitas, bukan sekadar akses. Investasi riset harus dilakukan secara serius. Industrialisasi perlu diarahkan pada teknologi menengah dan tinggi. Reformasi birokrasi dan kepastian hukum harus dijalankan secara konsisten. Hasilnya tidak instan dan tidak selalu populer. Banyak dampaknya baru terasa lintas generasi.


Pada akhirnya, Middle Income Trap bukan sekadar persoalan statistik. Ia adalah pertaruhan masa depan satu generasi. Negara yang gagal keluar akan menghadapi stagnasi kesejahteraan, meningkatnya frustrasi sosial, dan melemahnya posisi global. Indonesia harus memilih antara terus tumbuh perlahan tanpa pernah naik kelas, atau melakukan lompatan struktural yang menentukan sejarah.


Pertumbuhan yang terasa nyaman dapat meninabobokan. Transformasi yang menyakitkan justru menyelamatkan.

Pilihan itu sedang kita hadapi sekarang.(*)

Posting Komentar

0Komentar

Please Select Embedded Mode To show the Comment System.*

Melayani permintaan peliputan dan pemasangan iklan banner. Marketing Director (Email: redaksiliputanntt@gmail.com.Contact Person:081236630013). Alamat Redaksi: Jl. Oekam, RT 13/RW 005 Kelurahan Sikumana, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang, NTT. Email: redaksiliputanntt@gmail.com. Tlp/Hp: 081236630013 Rekening: BRI: No. Rek. 467601014931533 a.n. Hendrik Missa Bank NTT: No. Rek. 2503210258 a.n. Hendrik Missa