Kegagalan Meritokrasi: Saat Jabatan Publik Tidak Lagi Menghormati Kompetensi Profesional Ricky Ekaputra Foeh.,M.M Dosen FISIP UNDANA

Pemred Liputan NTT
0

 

KUPANG, LIPUTANNTT.Com,Dalam konteks tata kelola pemerintahan modern, pelaksanaan seleksi jabatan seharusnya menjadi arena pertarungan gagasan, rekam jejak, dan kompetensi. Namun di Indonesia, realitas sering menunjukkan arah yang berseberangan. Praktik penempatan pejabat yang tidak relevan dengan bidang keilmuan dan pengalaman profesional masih berlangsung, bukan hanya di sektor publik tetapi juga pada BUMD, lembaga nonstruktural, dan unit-unit strategis daerah. Persoalannya tidak lagi sekadar salah urus birokrasi, tetapi kegagalan sistemik yang merusak fondasi meritokrasi.


Masalahnya berawal dari pandangan keliru yang menganggap jabatan sebagai “posisi administratif” yang dapat diisi oleh siapa saja selama memiliki kedekatan dengan kekuasaan. Padahal jabatan publik bukan sekadar kursi; ia merupakan mandat teknokratis yang membutuhkan keahlian substantif dan kemampuan manajerial berbasis ilmu. Ketika seseorang tanpa latar belakang Manajemen Sumber Daya Manusia terlibat sebagai panitia seleksi jabatan, maka kredibilitas proses seleksi otomatis runtuh. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak memahami konsep kompetensi, asesmen, analisis beban kerja, dan standar kelayakan jabatan dapat menilai objektivitas peserta seleksi?


Contoh-contoh nyata dari berbagai daerah memperlihatkan betapa fatalnya konsekuensi dari pengabaian profesionalisme tersebut. Di salah satu daerah di Indonesia Timur, seorang pejabat non-teknis yang berlatar belakang pendidikan agama pernah ditunjuk memimpin dinas perikanan. Ketiadaan pemahaman teknis membuat kebijakan yang dikeluarkan tidak berdasar data populasi ikan, pola musim, atau struktur pasar, sehingga program gagal total dan menimbulkan kerugian anggaran. Di daerah lain, panitia seleksi jabatan diisi oleh individu yang tidak memiliki kompetensi dasar dalam manajemen aparatur negara. Akibatnya, proses seleksi dipersoalkan oleh peserta, berujung pada pengaduan hukum yang melibatkan Ombudsman, dan memaksa pemerintah daerah melakukan evaluasi ulang.


Kasus-kasus seperti ini mengonfirmasi bahwa masalah kompetensi bukan isu kecil. Ketika penempatan pejabat tidak menghormati integritas keilmuan, birokrasi kehilangan kemampuan analitis, pengambilan keputusan menjadi serampangan, dan institusi publik kehilangan arah strategis. Lebih jauh lagi, masyarakat kehilangan kepercayaan karena melihat bahwa kelayakan profesional telah dikalahkan oleh kedekatan politik dan relasi personal.


Ketidakefisienan ini diperparah oleh budaya KKN yang masih bertahan, meski kini hadir dalam wujud yang lebih rapi. KKN modern bekerja melalui rekomendasi informal, saran interpersonal, dan legitimasi semu berbasis loyalitas. Mekanisme ini merusak sendi dasar meritokrasi karena menggeser proses seleksi dari kerangka objektif menjadi sekadar formalitas administratif. Seleksi jabatan akhirnya hanya menjadi “seremoni”, bukan proses penyaringan kompetensi.


Jika dianalisis secara mendalam, akar masalahnya adalah ketidakmampuan institusi untuk menghormati dua prinsip utama: kepatutan profesi dan kesesuaian bidang ilmu. Kepatutan bukan hanya tentang moralitas, tetapi mencakup integritas eksekutif, kemampuan membuat keputusan etis, serta kapasitas memimpin tanpa konflik kepentingan. Sedangkan kesesuaian bidang ilmu merupakan basis teknokratis yang wajib dimiliki pejabat publik agar keputusan yang diambil berbasis data, evidence, dan kerangka keilmuan yang valid.


Mengabaikan dua prinsip tersebut berarti membangun struktur pemerintahan di atas landasan yang rapuh. Tidak mengherankan ketika banyak kebijakan publik berakhir tidak efektif, anggaran bocor, target tidak tercapai, dan inovasi mandek. Sebuah dinas kesehatan yang dipimpin oleh pejabat berlatar non-kesehatan tidak dapat memahami protokol epidemiologi. Dinas pendidikan yang dikendalikan oleh individu tanpa pemahaman pedagogi tidak akan mampu memetakan mutu belajar. Bahkan BUMD yang dipimpin oleh individu tanpa kompetensi manajerial berisiko mengalami kerugian signifikan seperti beberapa kasus nyata yang ditemukan BPK di berbagai provinsi.


Intinya, profesionalisme bukan sekadar tuntutan idealistik; ia adalah prasyarat untuk menghasilkan kebijakan yang efektif. Ketika jabatan ditempati berdasarkan kedekatan personal, bukan kompetensi profesional, maka negara dipaksa menanggung biaya ekonomi dan sosial yang jauh lebih besar.


Indonesia memiliki banyak sumber daya manusia yang kompeten. Namun potensi itu sering tertutup karena institusi tidak menempatkan profesionalisme sebagai standar utama. Jika negara ingin bergerak maju, seleksi jabatan harus kembali pada prinsip dasar: the right man on the right place. Bukan sekadar slogan, tetapi komitmen mutlak terhadap kualitas sumber daya manusia dan masa depan tata kelola pemerintahan.


Birokrasi yang kuat hanya mungkin lahir jika jabatan publik dihormati, bukan diperdagangkan atau dijadikan arena balas budi. Saatnya Indonesia menegaskan bahwa kompetensi bukan pilihan, melainkan kewajiban.(*)

Posting Komentar

0Komentar

Please Select Embedded Mode To show the Comment System.*

Melayani permintaan peliputan dan pemasangan iklan banner. Marketing Director (Email: redaksiliputanntt@gmail.com.Contact Person:081236630013). Alamat Redaksi: Jl. Oekam, RT 13/RW 005 Kelurahan Sikumana, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang, NTT. Email: redaksiliputanntt@gmail.com. Tlp/Hp: 081236630013 Rekening: BRI: No. Rek. 467601014931533 a.n. Hendrik Missa Bank NTT: No. Rek. 2503210258 a.n. Hendrik Missa