KUPANG, LIPUTANNTT.com,Program Indonesia Pintar (PIP) digagas untuk memastikan anak-anak dari keluarga miskin tetap bisa bersekolah. Bantuan ini digunakan membeli buku, seragam, hingga ongkos transportasi. Namun di banyak daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar), kuota PIP yang terbatas justru menimbulkan persoalan serius: banyak anak miskin tidak tercover, sementara mereka adalah pihak yang paling membutuhkan. Padahal, UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) dengan jelas menegaskan: “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.”
Di wilayah 3T, ongkos sekolah bukan sekadar iuran, melainkan biaya transportasi jauh, seragam, hingga buku. Dalam kondisi seperti ini, PIP seharusnya menjadi penopang utama.
Secara hukum, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 ayat (1) juga menegaskan: “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.” Begitu pula Perpres No. 105 Tahun 2016 tentang Program Indonesia Pintar yang menegaskan PIP ditujukan bagi anak dari keluarga miskin maupun yang tinggal di daerah khusus, termasuk 3T.
Artinya, ketika anak-anak 3T tidak memperoleh jatah memadai, negara gagal memenuhi mandat konstitusi. Prinsip equity—keadilan yang mempertimbangkan kebutuhan berbeda—seharusnya menjadi dasar. Daerah 3T mestinya mendapat afirmasi lebih besar, bukan justru terpinggirkan.
Kenyataan di Lapangan
Di wilayah 3T, masalah pendidikan jauh lebih kompleks dibanding kota besar. Jarak sekolah bisa puluhan kilometer, transportasi terbatas, dan ekonomi keluarga sebagian besar sangat lemah. Dalam situasi seperti ini, PIP seharusnya menjadi penopang utama agar anak tidak putus sekolah.
Sayangnya, kuota yang kecil membuat orang tua kecewa. Tak jarang pihak sekolah menjadi sasaran kemarahan karena dianggap tidak adil dalam menyalurkan bantuan. Padahal, persoalannya bukan di sekolah, melainkan pada keterbatasan kuota yang memang tidak sebanding dengan kebutuhan nyata di lapangan.
Analisis Kebijakan
Pembagian PIP saat ini lebih menekankan pada distribusi administratif secara nasional, bukan berdasarkan kebutuhan daerah. Dari sisi birokrasi mungkin tampak rasional, tetapi dari sisi keadilan justru timpang.
Daerah 3T semestinya mendapat alokasi lebih besar karena kondisi sosial-ekonominya jauh lebih rentan. Prinsip equity—keadilan yang mempertimbangkan kebutuhan berbeda—harus menjadi dasar. Tanpa afirmasi khusus, PIP hanya akan mengulang pola ketidakadilan lama: anak di perkotaan lebih mudah terjangkau, sementara anak di pedalaman tertinggal.
Dampak Minim Kuota
Keterbatasan kuota PIP membawa konsekuensi nyata:
• Banyak anak 3T putus sekolah karena tak mampu menanggung biaya dasar.
• Motivasi belajar melemah, karena mereka merasa negara tidak hadir.
• Orang tua marah dan menilai sistem tidak transparan.
Dampak jangka panjangnya lebih serius: anak-anak 3T terjebak dalam lingkaran kemiskinan tanpa peluang mobilitas sosial.
Kuota PIP yang minim di daerah 3T bukan sekadar soal teknis, melainkan masalah keadilan. Pemerintah perlu meninjau ulang skema alokasi dengan memberi afirmasi lebih besar pada daerah miskin dan sulit akses. Pendataan juga harus transparan agar orang tua tidak salah paham.
Anak-anak 3T bukan warga kelas dua. Mereka berhak mendapat kesempatan yang sama untuk sekolah. Jika negara serius mencerdaskan kehidupan bangsa, maka keadilan distribusi PIP harus menjadi prioritas.(*/aip)
Penulis: Amir Imran Patiraja (Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah NTT)