Aset Rakyat Mulai Masuk Etalase Pegadaian — Tanda Dapur Ekonomi Sedang Terbakar Senyap Oleh: Ricky Ekaputra Foeh, MM Dosen FISIP Undana

Pemred Liputan NTT
0

 

Kupang, LIPUTANNTT.com,Di saat pemerintah masih percaya diri menyampaikan bahwa pertumbuhan ekonomi nasional berada pada tren positif, kenyataan di lapangan menunjukkan wajah berbeda. Pegadaian penuh, sementara rekening tabungan masyarakat justru semakin tipis. Gejolak ekonomi mikro ini tidak muncul dalam grafik pertumbuhan atau rilis BPS. Ia hadir dalam bentuk antrean warga membawa cincin kawin, HP, hingga alat kerja untuk ditukar dengan uang cepat.


Fenomena ini terjadi diam-diam. Tidak ada keributan, tidak ada demonstrasi. Tetapi diam-diam, dapur ekonomi rakyat sedang terbakar.


Pegadaian Bertransformasi Menjadi “ATM Darurat” Keluarga Miskin-Produktif


Dulu, masyarakat yang mengalami tekanan ekonomi akan mendatangi bank, koperasi simpan pinjam, atau BUMDes. Kini, Pegadaian menjadi titik pertama saat kebutuhan ekonomi mengetuk pintu secara paksa. Yang lebih mencemaskan, uang hasil gadai bukan lagi dipakai untuk modal kerja atau perputaran ekonomi, melainkan untuk bertahan hidup.


Contoh faktual yang mudah ditemui:


Seorang ibu di Kupang menggadaikan cincin kawin hanya untuk membeli beras dan susu bagi anaknya.


Driver ojek online menaruh HP cadangan ke Pegadaian demi menutup tunggakan cicilan motor.


Petani melepas alat semprotnya, lalu ironisnya menyewa alat baru setiap hari hanya agar tetap bisa bekerja.


Inilah tanda bahwa rumah tangga tidak lagi dalam fase membangun, tetapi dalam fase bertahan. Pegadaian bukan sedang membantu masyarakat “mengembangkan aset”, tetapi mengulur waktu sebelum aset benar-benar hilang.


Tabungan Mengering: Fondasi Ekonomi Rumah Tangga Mulai Retak


Tabungan kecil yang selama ini menjadi penyangga darurat keluarga pekerja kini menghilang lebih cepat dari jadwal gajian. Bank daerah mencatat lonjakan penarikan rekening-rekening dengan saldo di bawah Rp500.000.


Pola ekonomi keluarga kelas bawah kini berubah tajam:


> Dulu: Gaji → Konsumsi → Sisakan sedikit → Tabung

Sekarang: Gaji → Bayar cicilan → Cairkan tabungan → Gadai barang → Bertahan hidup


Inilah gejala awal disintegrasi ketahanan ekonomi rumah tangga. Bukan karena mereka tidak bekerja, tetapi karena penghasilan tidak lagi cukup untuk menebus apa yang mereka gadaikan.


Lahirnya Kemiskinan Generasi Baru: Bukan Lagi Sekadar Miskin Pendapatan, Tetapi Miskin Aset


Ketika tabungan habis dan barang mulai berpindah tangan, bel berlambatnya intervensi negara seharusnya sudah berbunyi keras. Cincin, ponsel, alat kerja, bahkan sepeda motor — yang selama ini menjadi jaring pengaman ekonomi — pelan-pelan berpindah ke etalase Pegadaian. Jika barang tak ditebus, aset itu akan dibeli orang lain, dan rakyat kehilangan kesempatan untuk memulihkan daya ekonominya.


> Kita sedang menuju fase baru: masyarakat bukan lagi hanya miskin uang, tetapi miskin alat untuk bangkit kembali.


Langkah Intervensi: Pemerintah Harus Turun Sebelum Aset Rakyat Hilang Total


Krisis ini tidak bisa dihadapi hanya dengan seminar dan imbauan umum. Diperlukan langkah operasional, langsung menyentuh ruang dapur, bukan sekadar ruang rapat.


1. Bentuk Tim Tanggap Ekonomi Rumah Tangga di Level Kelurahan


Komposisi praktis: Lurah – RT/RW – Pegadaian – Bank Daerah


Tugas utama: Mendata warga yang sudah gadai lebih dari dua kali dan yang saldonya di bank terus menipis sebelum gajian.


Data ini menjadi detektor kemiskinan dini — bukan setelah mereka masuk kategori miskin secara administratif.


2. Terapkan Mekanisme Tebus Barang Harian


Buat kebijakan penebusan bertahap Rp10.000–Rp20.000 per hari


Pegadaian tetap untung, rakyat masih punya kesempatan menebus aset


Lebih baik warga mencicil asetnya kembali daripada barang langsung berpindah kepemilikan


3. Dana Bergulir Ultra-Mikro Tanpa Proposal


Nominal fleksibel: Rp300.000 – Rp700.000


Tanpa proses birokrasi rumit, cukup KTP domisili RT


Pembayaran harian melalui agen BUMDes/kelurahan


Dana hanya untuk usaha mikro berputar cepat, bukan konsumsi semata


> Rp500.000 jika hanya untuk bayar listrik memang habis. Tapi jika diputar jual kopi atau gorengan, bisa menciptakan arus kas harian Rp30.000–Rp50.000.


4. Program “Pendampingan dari Uang Gadai”


Setiap warga yang menggadai barang harus diarahkan ke Posko Ekonomi Kelurahan


Melalui one-hour coaching, mereka diajarkan:


Cara mengubah uang gadai jadi modal putar


Cara mengatur pemasukan kecil agar bisa menebus barang kembali


Biayanya murah, dampaknya signifikan menyelamatkan aset dari hilang permanen


5. Wajibkan Bank Daerah Melaporkan Rekening Rakyat yang ‘Gundul’


Selama ini bank hanya sibuk mengumumkan kredit


Pemerintah justru butuh laporan saldo mikro yang terus tergerus


Ini adalah sensor dini tekanan ekonomi rumah tangga


Penutup

Ekonomi rakyat tidak selalu jatuh karena badai besar, resesi, atau krisis global. Kadang ia runtuh karena satu cincin yang digadaikan dan tidak pernah kembali. Dari situ, martabat pelan-pelan memudar, dan negara baru sadar ketika semuanya sudah terlambat.


> Jika kebijakan hanya mengejar statistik, kita akan kalah oleh realitas yang berjalan di lorong Pegadaian.

Namun jika negara mau menatap antrean itu sebagai alarm, bukan sekadar transaksi, maka masih ada harapan menyelamatkan aset dan martabat rakyat kecil.(*)

Posting Komentar

0Komentar

Please Select Embedded Mode To show the Comment System.*

Melayani permintaan peliputan dan pemasangan iklan banner. Marketing Director (Email: redaksiliputanntt@gmail.com.Contact Person:081236630013). Alamat Redaksi: Jl. Oekam, RT 13/RW 005 Kelurahan Sikumana, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang, NTT. Email: redaksiliputanntt@gmail.com. Tlp/Hp: 081236630013 Rekening: BRI: No. Rek. 467601014931533 a.n. Hendrik Missa Bank NTT: No. Rek. 2503210258 a.n. Hendrik Missa