1. Kabupaten TTS:
TTS, LIPUTANNTT.com,Kabupaten ini, masih berdiri seperti dulu, tenang, tapi penuh gema, dalam diamnya menyimpan tanya;
Langkahku pernah tertanam
di lorong-lorong pasar,
di depan TPS yang sunyi
setelah suara terakhir dilipat
dan kertasnya disimpan
dalam kotak seperti dada sendiri.
Aku merindukan itu—
bukan hanya tempatnya,
tapi cara waktu bergerak
saat kebenaran ditulis
oleh tangan-tangan kecil
yang tak pernah disorot kamera.
2. Pencegahan:
Aku pernah bicara sebelum semua bicara.
Mengangkat tangan, bukan untuk menuduh,
tapi untuk mengingatkan,
bahwa kejujuran bisa hilang
bila tak dijaga dari awal.
“Jangan,” kataku pada yang tergoda,
“Jangan,” kataku pada bisik uang dan janji.
Karena aku tahu,
sekali kita biarkan
kebenaran dijual,
maka nama kita akan tercoret
dari sejarah yang benar.
Dan kini aku rindu,
rindu menjadi perisai
yang berdiri sebelum dusta tumbuh.
3. Pengawasan:
Mata ini bukan sekadar mata.
Ia telah belajar membaca
sandi di balik senyum calon,
atau persekongkolan yang menyamar
sebagai jamuan kopi sore.
Aku duduk di sudut
dengan pena dan catatan,
sementara pesta demokrasi
berjalan dengan kaki yang pincang.
Dan aku rindu—
rindu untuk mencatat lagi,
bukan sekadar pelanggaran,
tapi juga harapan yang patah
karena sistem yang pura-pura jujur.
4. Penindakan:
Ada saatnya kata tak cukup.
Lalu aku bicara dengan bukti,
berhadapan dengan wajah-wajah
yang dulu ramah,
kini kaku seperti tembok saksi.
Aku tak mencari musuh,
aku hanya menjaga jalan.
Dan setiap kali kutegakkan
apa yang benar,
aku kehilangan teman
tapi mendapatkan nurani.
Kini, malam terasa panjang.
Rindu untuk bersuara lagi
dalam sidang kecil di kantor kecamatan,
tempat di mana keadilan
selalu datang terlambat—tapi tetap datang.
5. Rindu yang Tak Ingin Padam
Aku bukan siapa-siapa,
hanya pria dengan kenangan
dan rindu yang tak selesai.
Soe bukan hanya kota,
ia adalah nadi,
tempat kutinggalkan
sebagian diriku
dalam setiap pemilu yang kukawal.
Aku ingin kembali.
Bukan untuk dikenang,
tapi untuk menjaga lagi
apa yang kini dibiarkan retak.
Karena rindu ini bukan api,
ia tak menyala dengan nyala,
tapi ia membakar pelan
seperti dupa di atas batu—
hening, namun mengabarkan arah.
6. Kokbaun
Kecamatan itu bukan hanya tempat,
ia adalah diam yang menyimpan sidik jari,
jejak sandal di pasir kantor kecamatan,
aroma kopi yang mengiringi rapat tengah malam.
Aku pernah menunggu matahari
di depan TPS nomor dua,
dengan dada berdebar
karena kertas suara
lebih rapuh dari yang kukira.
Kokbaun—kau kecamatan terluar,
tapi langkahmu panjang
menyusuri lorong-lorong harapan.
7. Pencegahan adalah doa:
Aku pernah bicara sebelum semuanya mulai.
Di kampung yang tertidur,
aku mengetuk pintu-pintu sunyi
dan berkata:
“Jangan pilih karena uang,
pilih karena masa depan anakmu.”
Mereka mengangguk,
lalu diam.
Dan dalam diam itu
aku tahu, pencegahan adalah doa
yang tak selalu terkabul
tapi tetap harus diucap.
8. Tak boleh ditambah:
Di malam pencoblosan,
aku tak tidur.
Bukan karena takut,
tapi karena aku tahu:
kecurangan berjalan paling cepat
saat semua orang berpaling.
Tanganku mencatat,
hatiku menimbang,
dan mataku menjadi saksi
bahwa keadilan bukan hal besar,
kadang hanya satu angka
yang tak boleh ditambah.
9. Penindakan
Lalu datang saat paling sunyi:
aku harus bicara—tegas.
Aku tunjukkan siapa yang bermain,
siapa yang lupa bahwa suara rakyat
bukan permainan.
Mereka membenciku,
seperti bayang-bayang benci cahaya.
Tapi aku berdiri,
sebab jika tak ada yang menindak,
maka biarlah aku menjadi batu
di tengah sungai deras tipu daya.
10. ada rindu di kokbaun:
Kini aku di sini, jauh dari Kokbaun,
tapi setiap berita tentang demokrasi
membawa angin dari Fatu’lotas,
dan suara dari desa Benahe.
Rindu ini tidak meledak,
ia membakar perlahan
seperti bara dalam tanah kering.
Aku ingin kembali,
bukan untuk sekadar hadir,
tapi untuk menjaga lagi
suara yang hampir hilang,
kebenaran yang tak punya penjaga.
Kokbaun,
aku tak pernah pergi sepenuhnya.
Sebagian jiwaku masih berjaga,
di setiap suara yang kau hitung,
di setiap kertas yang kau lipat,
dan di setiap harap yang kau titipkan pada pemilu berikutnya.
Honing Alvianto Bana. Lahir di kota Soe, Nusa Tenggara Timur. Ia pernah menjadi pengawas pemilu di kecamatan Kokbaun. Ia juga suka menulis puisi, cerpen, dan opini. Tulisan-tulisannya tersebar di beberapa media lokal, dan nasional.(*)