Puisi: TTS dalam Ingatan Pengawas Pemilu

Pemred Liputan NTT
0

 

1. Kabupaten TTS:

 TTS, LIPUTANNTT.com,Kabupaten ini, masih berdiri seperti dulu, tenang, tapi penuh gema, dalam diamnya menyimpan tanya;

Langkahku pernah tertanam

di lorong-lorong pasar,

di depan TPS yang sunyi

setelah suara terakhir dilipat

dan kertasnya disimpan

dalam kotak seperti dada sendiri.


Aku merindukan itu—

bukan hanya tempatnya,

tapi cara waktu bergerak

saat kebenaran ditulis

oleh tangan-tangan kecil

yang tak pernah disorot kamera.


2. Pencegahan:

Aku pernah bicara sebelum semua bicara.

Mengangkat tangan, bukan untuk menuduh,

tapi untuk mengingatkan,

bahwa kejujuran bisa hilang

bila tak dijaga dari awal.


“Jangan,” kataku pada yang tergoda,

“Jangan,” kataku pada bisik uang dan janji.

Karena aku tahu,

sekali kita biarkan

kebenaran dijual,

maka nama kita akan tercoret

dari sejarah yang benar.


Dan kini aku rindu,

rindu menjadi perisai

yang berdiri sebelum dusta tumbuh.


3. Pengawasan:

Mata ini bukan sekadar mata.

Ia telah belajar membaca

sandi di balik senyum calon,

atau persekongkolan yang menyamar

sebagai jamuan kopi sore.


Aku duduk di sudut

dengan pena dan catatan,

sementara pesta demokrasi

berjalan dengan kaki yang pincang.


Dan aku rindu—

rindu untuk mencatat lagi,

bukan sekadar pelanggaran,

tapi juga harapan yang patah

karena sistem yang pura-pura jujur.


4. Penindakan:

Ada saatnya kata tak cukup.

Lalu aku bicara dengan bukti,

berhadapan dengan wajah-wajah

yang dulu ramah,

kini kaku seperti tembok saksi.


Aku tak mencari musuh,

aku hanya menjaga jalan.

Dan setiap kali kutegakkan

apa yang benar,

aku kehilangan teman

tapi mendapatkan nurani.


Kini, malam terasa panjang.

Rindu untuk bersuara lagi

dalam sidang kecil di kantor kecamatan,

tempat di mana keadilan

selalu datang terlambat—tapi tetap datang.


5. Rindu yang Tak Ingin Padam

Aku bukan siapa-siapa,

hanya pria dengan kenangan

dan rindu yang tak selesai.


Soe bukan hanya kota,

ia adalah nadi,

tempat kutinggalkan

sebagian diriku

dalam setiap pemilu yang kukawal.


Aku ingin kembali.

Bukan untuk dikenang,

tapi untuk menjaga lagi

apa yang kini dibiarkan retak.


Karena rindu ini bukan api,

ia tak menyala dengan nyala,

tapi ia membakar pelan

seperti dupa di atas batu—

hening, namun mengabarkan arah.


6. Kokbaun

Kecamatan itu bukan hanya tempat,

ia adalah diam yang menyimpan sidik jari,

jejak sandal di pasir kantor kecamatan,

aroma kopi yang mengiringi rapat tengah malam.


Aku pernah menunggu matahari

di depan TPS nomor dua,

dengan dada berdebar

karena kertas suara

lebih rapuh dari yang kukira.


Kokbaun—kau kecamatan terluar,

tapi langkahmu panjang

menyusuri lorong-lorong harapan.


7. Pencegahan adalah doa:

Aku pernah bicara sebelum semuanya mulai.

Di kampung yang tertidur,

aku mengetuk pintu-pintu sunyi

dan berkata:

“Jangan pilih karena uang,

pilih karena masa depan anakmu.”


Mereka mengangguk,

lalu diam.

Dan dalam diam itu

aku tahu, pencegahan adalah doa

yang tak selalu terkabul

tapi tetap harus diucap.


8. Tak boleh ditambah:

Di malam pencoblosan,

aku tak tidur.

Bukan karena takut,

tapi karena aku tahu:

kecurangan berjalan paling cepat

saat semua orang berpaling.


Tanganku mencatat,

hatiku menimbang,

dan mataku menjadi saksi

bahwa keadilan bukan hal besar,

kadang hanya satu angka

yang tak boleh ditambah.


9. Penindakan

Lalu datang saat paling sunyi:

aku harus bicara—tegas.

Aku tunjukkan siapa yang bermain,

siapa yang lupa bahwa suara rakyat

bukan permainan.


Mereka membenciku,

seperti bayang-bayang benci cahaya.

Tapi aku berdiri,

sebab jika tak ada yang menindak,

maka biarlah aku menjadi batu

di tengah sungai deras tipu daya.


10. ada rindu di kokbaun:

Kini aku di sini, jauh dari Kokbaun,

tapi setiap berita tentang demokrasi

membawa angin dari Fatu’lotas,

dan suara dari desa Benahe.


Rindu ini tidak meledak,

ia membakar perlahan

seperti bara dalam tanah kering.


Aku ingin kembali,

bukan untuk sekadar hadir,

tapi untuk menjaga lagi

suara yang hampir hilang,

kebenaran yang tak punya penjaga.


Kokbaun,

aku tak pernah pergi sepenuhnya.

Sebagian jiwaku masih berjaga,

di setiap suara yang kau hitung,

di setiap kertas yang kau lipat,

dan di setiap harap yang kau titipkan pada pemilu berikutnya.


Honing Alvianto Bana. Lahir di kota Soe, Nusa Tenggara Timur. Ia pernah menjadi pengawas pemilu di kecamatan Kokbaun.  Ia juga suka menulis puisi, cerpen, dan opini. Tulisan-tulisannya tersebar di beberapa media lokal, dan nasional.(*)

Posting Komentar

0Komentar

Please Select Embedded Mode To show the Comment System.*

Melayani permintaan peliputan dan pemasangan iklan banner. Marketing Director (Email: redaksiliputanntt@gmail.com.Contact Person:081236630013). Alamat Redaksi: Jl. Oekam, RT 13/RW 005 Kelurahan Sikumana, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang, NTT. Email: redaksiliputanntt@gmail.com. Tlp/Hp: 081236630013 Rekening: BRI: No. Rek. 467601014931533 a.n. Hendrik Missa Bank NTT: No. Rek. 2503210258 a.n. Hendrik Missa