KUPANG, LIPUTANNTT.com,Upaya pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengguyur pasar dengan beras SPHP patut diapresiasi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan adanya perbaikan nyata: pada pekan terakhir Agustus 2025 kenaikan harga beras terjadi di 214 kabupaten/kota, namun hanya dalam sepekan, pada awal September, angka itu turun drastis menjadi 100 kabupaten/kota. Bahkan jumlah daerah yang mengalami penurunan harga meningkat signifikan dari 58 menjadi 105 kabupaten/kota.
Artinya, intervensi pemerintah berhasil meredam gejolak harga dalam jangka pendek. Mekanisme operasi pasar melalui beras SPHP terbukti mampu menekan harga di lapangan, menjaga daya beli masyarakat, dan mencegah inflasi pangan semakin melebar. Kolaborasi Mendagri Tito Karnavian dan Menteri Pertanian Amran Sulaiman menunjukkan bahwa stabilitas harga pangan bukan hanya soal produksi, tapi juga distribusi dan tata kelola pasar.
Namun, efektivitas ini masih bersifat sementara. Pasokan beras SPHP memang ditargetkan dikucurkan sampai Desember, tetapi pertanyaan strategisnya adalah: apa yang terjadi setelah itu? Jika pola intervensi hanya sebatas “pemadam kebakaran”, maka fluktuasi harga bisa kembali membesar. Ketahanan pangan tidak bisa semata-mata bertumpu pada operasi pasar, melainkan harus ditopang dengan produktivitas pertanian, modernisasi rantai pasok, hingga efisiensi distribusi antarwilayah.
Menurut saya, kebijakan beras SPHP layak untuk dilanjutkan hingga Desember, terutama sebagai penyangga harga dan menjaga psikologis pasar. Namun setelah itu, perlu ada transisi menuju strategi stabilisasi berkelanjutan: memperkuat cadangan beras pemerintah, mengefisienkan distribusi antar-daerah, serta mendukung petani melalui akses pupuk, benih unggul, dan teknologi.
Selain beras, pemerintah juga mesti memperhatikan komoditas pangan strategis lain yang memiliki efek domino terhadap inflasi dan biaya hidup masyarakat. Daging, minyak goreng, bawang putih, dan tepung terigu jelas penting karena menjadi bahan baku utama rumah tangga maupun industri. Jika harga komoditas ini bergejolak, dampaknya akan meluas ke sektor lain, termasuk UMKM kuliner, industri makanan, hingga konsumsi rumah tangga.
Tiga Saran Kebijakan Praktis Pasca-Desember:
1. Perkuat Cadangan Pangan Nasional
Perluasan gudang Bulog dengan sistem digitalisasi stok agar distribusi beras maupun komoditas strategis lainnya lebih cepat dan transparan. Ini juga mencegah panic buying dan permainan harga oleh spekulan.
2. Diversifikasi Intervensi Komoditas
Jangan hanya fokus pada beras, tapi perlu diperluas ke daging, minyak goreng, bawang putih, dan tepung terigu. Pemerintah dapat melakukan operasi pasar terukur dan kontrak jangka menengah dengan pelaku usaha agar harga lebih terkendali.
3. Perbaikan Tata Niaga dan Distribusi
Masalah harga sering bukan hanya soal produksi, tapi distribusi yang mahal dan tidak efisien. Perlu reformasi rantai pasok dengan menekan biaya logistik, memperkuat transportasi antarwilayah, serta memangkas rantai perantara agar harga di tingkat konsumen lebih stabil.
Kesimpulannya:
Keberhasilan menstabilisasi harga beras melalui beras SPHP adalah langkah positif yang harus diakui. Tetapi agar tidak terjebak dalam pola intervensi jangka pendek, pemerintah perlu menyiapkan strategi lebih komprehensif dan berkesinambungan. Bukan hanya beras, melainkan seluruh pangan strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak.(*reg)