Kupang, LIPUTANNTT.com,Kebijakan efisiensi Transfer ke Daerah (TKD) 2026 yang dikeluarkan pemerintah pusat memang memantik kegelisahan para kepala daerah. Wajar bila 18 gubernur turun langsung ke Kementerian Keuangan, karena bagi sebagian besar daerah, TKD adalah sumber utama denyut fiskal pembangunan. Pemotongan atau efisiensi TKD langsung menyentuh kemampuan daerah membiayai layanan dasar hingga infrastruktur.
Namun, jika dicermati lebih dalam, kebijakan efisiensi TKD bukan semata bentuk pengurangan, melainkan penyadaran fiskal agar daerah tidak lagi menggantungkan diri pada transfer pusat, dan mulai membangun kapasitas keuangan sendiri. Dengan kata lain, ini bukan soal pemotongan, tapi ujian kreativitas fiskal daerah.
1. Masalah Utama: Ketergantungan Fiskal dan Struktur Belanja yang Tidak Sehat
Sebagian besar daerah di Indonesia masih menghadapi struktur APBD yang tidak sehat: lebih dari 60–70% habis untuk belanja rutin (gaji pegawai, perjalanan dinas, rapat, seremonial). Akibatnya, ruang fiskal untuk pembangunan ekonomi produktif menjadi sempit.
Seperti diakui Gubernur Maluku Utara, dengan TKD yang ada “hanya cukup untuk belanja rutin”. Artinya, APBD telah terjebak dalam pola konsumtif birokrasi, bukan produktif ekonomi. Kondisi ini terjadi karena dua hal:
1) Daerah gagal menciptakan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) baru, dan
2) Pola anggaran belum diarahkan pada hasil (outcome based budgeting), melainkan sekadar penyerapan.
2. Efisiensi Bukan Sekadar Penghematan, Tapi Redefinisi Prioritas
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian benar: masih banyak pemborosan di birokrasi. Efisiensi tidak cukup hanya memangkas, tapi harus menggeser alokasi dari yang tidak berdampak ke yang bernilai publik tinggi.
Contoh dari Bupati Lahat layak diapresiasi: memotong anggaran perjalanan dinas dan mengalihkannya ke irigasi. Ini bukan sekadar efisiensi, tapi reorientasi fiskal — uang publik dikembalikan kepada kebutuhan produktif masyarakat.
Artinya, Pemda harus berani melakukan:
• Audit efektivitas program: mana yang berdampak langsung terhadap kesejahteraan rakyat, mana yang sekadar rutinitas.
• Reprioritisasi belanja: dari birokrasi ke sektor pertanian, UMKM, digitalisasi layanan, dan infrastruktur dasar.
• Digitalisasi proses anggaran: untuk menekan biaya administrasi dan memperkuat akuntabilitas.
3. Jalan Keluar: Creative Financing sebagai Solusi Jangka Menengah
Arah yang kini didorong pemerintah — creative financing — sesungguhnya sudah lama menjadi tuntutan dalam manajemen publik modern. Namun, creative financing bukan sekadar mencari pinjaman, tetapi kemampuan daerah menggerakkan sumber daya di luar APBD secara inovatif dan akuntabel.
Beberapa prasyarat agar creative financing berhasil:
1) Kepastian hukum dan tata kelola yang kredibel. Investor dan lembaga keuangan tidak akan mau masuk bila Pemda belum memiliki regulasi kerja sama yang jelas (misalnya, Perda KPBU atau mekanisme jaminan aset).
2) Aset daerah yang terdata dan bisa dimonetisasi. Banyak daerah memiliki aset tidur — tanah, BUMD pasif, gedung tak produktif — yang bisa dioptimalkan untuk skema asset-backed financing.
3) Kapasitas teknokratis birokrasi daerah. Aparatur harus paham struktur pembiayaan modern: Public Private Partnership (PPP), obligasi daerah, dan infrastructure fund.
4) Transparansi dan akuntabilitas. Tanpa ini, tidak ada kepercayaan dari investor maupun publik.
4. Contoh Praktik Baik dan Peluang
• DKI Jakarta tengah menyiapkan creative financing melalui optimalisasi aset daerah dan kerja sama dengan swasta untuk sektor transportasi dan air bersih.
• Pemkab Lahat menunjukkan bahwa efisiensi internal bisa menjadi modal dasar untuk membuka ruang fiskal.
• Provinsi Bali telah mengembangkan blended finance untuk pariwisata berkelanjutan melalui dana gabungan publik-swasta.
Daerah lain bisa meniru dengan cara:
•Membentuk Unit Layanan KPBU Daerah (PPP Unit) agar proyek-proyek strategis bisa dikemas dalam skema kerja sama jangka panjang.
•Menginisiasi obligasi daerah mikro untuk proyek lokal bernilai sosial (irigasi, sanitasi, energi desa).
•Menggandeng perbankan daerah (Bank Pembangunan Daerah) untuk menyediakan kredit produktif yang bersumber dari hasil efisiensi internal.
5. Rekomendasi Konkret bagi Pemda
1. Susun Peta Fiskal Daerah sebagai Kompas Kebijakan.
Pemda perlu memiliki fiscal map yang komprehensif—memetakan seluruh aset produktif, utang jangka pendek maupun panjang, sumber PAD potensial, serta ruang efisiensi belanja. Banyak daerah tidak tahu berapa nilai riil asetnya karena data keuangan dan aset tidak terintegrasi.
Peta fiskal ini menjadi dasar rasional untuk menentukan strategi pembiayaan: proyek mana yang bisa dibiayai dari APBD, mana yang layak ditawarkan ke swasta, dan mana yang bisa dibiayai lewat blended finance. Tanpa peta fiskal, keputusan pembiayaan hanya akan bersifat reaktif, bukan strategis.
2. Bentuk Tim Inovasi Pembiayaan Daerah (Local Fiscal Innovation Taskforce).
Tim ini harus lintas sektor: akademisi (untuk desain kebijakan), swasta (untuk perspektif bisnis), lembaga keuangan lokal (untuk dukungan modal), dan birokrasi (untuk legitimasi administratif).
Tugasnya: merancang proyek-proyek daerah yang bankable dan menarik bagi investor, menyiapkan project preparation documents, serta menjembatani komunikasi dengan pemerintah pusat.
Contohnya, Pemprov Jawa Barat membentuk West Java Investment and Promotion Board yang berfungsi sebagai katalis pembiayaan alternatif dan promosi proyek. Inisiatif seperti ini bisa direplikasi oleh daerah lain sesuai kapasitas fiskalnya.
3. Reformasi Total BUMD: Dari Beban APBD Menjadi Mesin Pembangunan.
Sebagian besar BUMD hari ini hanya menjadi “pos penyerap modal”, bukan entitas produktif. Reformasi BUMD harus diarahkan pada corporate governance dan profitability.
BUMD perlu diberikan mandat untuk berperan sebagai mitra strategis pembiayaan publik—misalnya, menjadi pengelola aset daerah (asset manager), penyedia kredit mikro bagi UMKM lokal, atau operator proyek infrastruktur melalui skema Public Private Partnership (PPP).
BUMD harus diperlakukan seperti korporasi publik yang transparan, bukan hanya bagian birokrasi ekonomi.
4. Bangun Platform Digital Transparansi Fiskal dan APBD.
Keterbukaan fiskal adalah kunci membangun kepercayaan publik dan swasta. Pemda perlu membuat portal digital yang menampilkan data APBD secara real time: belanja, pendapatan, aset, dan proyek strategis. Investor tidak akan datang ke daerah yang gelap datanya. Dengan platform ini, Pemda menunjukkan profesionalisme fiskal dan memudahkan publik mengawasi penggunaan anggaran.
Beberapa kota seperti Surabaya dan Banyuwangi sudah memulainya melalui open data dashboard yang memuat peta proyek dan sumber pembiayaannya.
5. Bangun Kemitraan Strategis dengan Universitas dan Lembaga Riset.
Pemda tidak bisa bekerja sendiri. Dunia akademik memiliki peran penting dalam membantu desain kebijakan pembiayaan kreatif yang berbasis data dan analisis ekonomi lokal.
Kemitraan ini penting untuk memetakan sektor unggulan yang bisa dijadikan entry point pembiayaan kreatif—misalnya:
• Pertanian & irigasi pintar untuk daerah agraris,
•Pariwisata berkelanjutan untuk daerah wisata,
•Energi hijau dan perikanan modern untuk daerah kepulauan.
Dengan kolaborasi ini, Pemda tidak hanya efisien secara fiskal, tetapi juga mampu melahirkan inovasi berbasis potensi lokal.
Penutup
Efisiensi TKD 2026 bukan sekadar soal penghematan, melainkan momentum reformasi fiskal daerah.
Pemda harus berhenti melihat APBN sebagai “tabungan utama”, dan mulai membangun mesin ekonomi otonom.
Kepala daerah dituntut bukan hanya pandai berpolitik, tetapi juga melek manajemen fiskal dan berani berinovasi finansial. Daerah yang adaptif dan kreatif akan bertahan, bahkan tumbuh — sementara yang pasif akan semakin tergantung dan tertekan.
Efisiensi yang sesungguhnya bukan memangkas, tetapi mengalihkan dari pemborosan menuju kebermanfaatan. Dan creative financing adalah jembatan menuju kemandirian fiskal yang sejati.(*)