Menghadapi Efisiensi Anggaran Pusat: Strategi Kemandirian Fiskal Pemda Tanpa Terjebak Survival Mode Oleh: Ricky Ekaputra Foeh, MM Dosen FISIP Undana

Pemred Liputan NTT
0


Kupang, LIPUTANNTT.com,Kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan pemerintah pusat bukan sekadar penataan belanja negara, tetapi merupakan sinyal transisi menuju model hubungan fiskal yang lebih menuntut kemandirian daerah. Transfer dana dari pusat sudah tidak bisa lagi menjadi tumpuan utama pembiayaan pembangunan. Dalam konteks ini, daerah tidak hanya dituntut untuk berhemat, tetapi juga mampu menciptakan sumber-sumber pendapatan baru melalui rekayasa ekonomi lokal yang cerdas.


Namun kenyataannya, sebagian besar pemerintah daerah merespons tekanan fiskal ini dengan sikap bertahan (survival mode), memangkas program, menunda kegiatan, dan menjaga agar kas tidak defisit. Respons seperti ini hanya menjaga stabilitas jangka pendek, tetapi tidak menghasilkan kapasitas fiskal baru. Daerah seharusnya tidak berhenti pada logika pengurangan belanja, tetapi bergerak ke logika penciptaan nilai (value creation).


Tantangannya jelas: tanpa desain fiskal yang progresif, Pemda berisiko terjebak dalam siklus “menunggu dan menyesuaikan”, alih-alih “menginisiasi dan mengendalikan”. Pada tahap ini, pertanyaannya bukan lagi bagaimana bertahan dari pemotongan anggaran, tetapi bagaimana membangun arsitektur fiskal yang membuat daerah tidak lagi bergantung.


ANALISIS ADMINISTRASI, RISIKO DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMERINTAHAN DAERAH


Jika tekanan efisiensi anggaran dari pusat tidak direspons dengan kecerdasan fiskal, daerah akan menghadapi empat konsekuensi administratif serius. Pertama, PAD yang stagnan ditambah penurunan transfer pusat akan mendorong daerah masuk ke zona darurat fiskal. Dalam kondisi ini, APBD hanya berfungsi untuk membayar gaji, operasional dasar, dan belanja wajib, sementara ruang inovasi dan pembangunan publik praktis tertutup. Pemerintah daerah akan kehilangan kemampuan intervensi pembangunan dan hanya bergerak secara administratif, bukan strategis.


Kedua, banyak daerah cenderung menaikkan pajak dan retribusi sebagai respons cepat terhadap tekanan fiskal. Namun tanpa basis ekonomi yang jelas, kebijakan ini justru memicu resistensi publik. Pelaku usaha lokal merasa ditekan tanpa ada dukungan nilai balik dari Pemda. Akibatnya, muncul gesekan fiskal antara birokrasi dan masyarakat, yang tidak hanya berdampak pada penerimaan daerah tetapi juga pada stabilitas sosial dan kepercayaan terhadap pemerintah.


Ketiga, program fiskal yang tidak didesain dengan logika investasi justru melahirkan institusi yang menjadi beban, bukan aset. BUMD dan BLUD yang seharusnya berfungsi sebagai mesin arus kas publik malah hidup dari subsidi APBD. Alih-alih menciptakan pendapatan, mereka menjadi pos pembiayaan rutin yang makin menggerogoti kapasitas fiskal daerah. Ketika tidak ada disiplin investasi, setiap kebijakan ekonomi hanya berubah menjadi proyek administratif tanpa dampak pada kas daerah.


Keempat, tekanan fiskal dari pusat tidak hanya berbentuk teknis anggaran, tetapi juga membawa implikasi politik. Daerah diminta mandiri, namun tanpa akses fiskal dan platform nilai yang memadai, kepala daerah berada dalam posisi yang sulit: dituntut inovatif tetapi dibatasi secara struktural. Dalam situasi seperti itu, legitimasi politik kepala daerah menjadi taruhannya. Masyarakat tidak menilai dari keterbatasan fiskal pusat, tetapi dari kemampuan kepala daerah merespons secara cerdas dan produktif.


STRATEGI REKOMENDASI UTAMA


Langkah pertama yang harus ditempuh daerah adalah membangun Ruang Fiskal Cerdas (Smart Fiscal Space). Paradigmanya harus digeser: bukan lagi sekadar menarik pajak dari objek klasik seperti hotel, restoran, dan parkir, melainkan menciptakan ekosistem pergerakan ekonomi baru. Masih banyak aktivitas ekonomi lokal seperti jasa logistik kecil, pasar online, wedding organizer, sewa peralatan, hingga ekosistem kreator digital—yang menghasilkan transaksi nyata tetapi tidak tercatat sebagai sumber fiskal. Untuk itu, Pemda perlu membentuk Fiscal Intelligence Unit Daerah, tim lintas Bappeda, Bapenda, dan Diskominfo yang bertugas melakukan pemindaian aktivitas ekonomi non-formal untuk kemudian diorkestrasi menjadi sumber PAD berbasis platform, bukan pajak langsung. Prinsip kuncinya jelas: jangan memulai dari logika pajak, tetapi dari logika pergerakan ekonomi; PAD akan mengikuti.


Strategi berikutnya adalah mengubah orientasi BUMD dari “beban APBD” menjadi “mesin uang daerah”. BUMD tidak boleh lagi beroperasi sekadar sebagai entitas administratif yang hidup dari suntikan APBD. Ia harus menjadi kompresor ekonomi lokal melalui model kemitraan pasar. Ini membutuhkan audit bisnis untuk menyaring BUMD yang benar-benar punya potensi pasar. Selanjutnya, di setiap BUMD perlu dibentuk Business Development Office (BDO) yang bertugas membangun jejaring usaha dan mengelola arus kas. Contohnya, BUMD pangan tidak harus memiliki infrastruktur fisik seperti gudang; cukup menjadi agregator distribusi dan mengambil fee resmi dari aktivitas pasar. BUMD energi tidak perlu membangun PLTU; cukup masuk ke bisnis stasiun pengisian motor listrik melalui pola revenue sharing dengan swasta.


Langkah ketiga adalah mempercepat Investasi Daerah Non-Budgeter (Non-Budgeter Investment Model). Pemda tidak boleh menunggu siklus APBD setiap kali melihat peluang ekonomi. Solusi konkretnya adalah membangun Project Bank, yakni daftar proyek lengkap dengan dokumen legal, lokasi, skema bisnis, dan proyeksi arus kas, yang siap ditawarkan melalui skema KPBU mikro dan revenue sharing. Dengan demikian, Pemda dapat menghadirkan pasar atau infrastruktur layanan publik tanpa membebani belanja anggaran, tetapi tetap memperoleh bagi hasil resmi yang masuk sebagai PAD.


Selanjutnya, Pemda perlu melakukan evolusi BLUD dari sekadar unit pelayanan menjadi mesin arus kas publik. BLUD generasi baru harus berorientasi pada penciptaan nilai ekonomi melalui model Value for Money + Value Creation. Contohnya, BLUD rumah sakit dapat membuka layanan telemedisin berbayar melalui kemitraan dengan startup lokal, sementara BLUD pasar dapat melakukan digitalisasi penuh atas sewa kios, retribusi, dan parkir sehingga pungutan informal hilang dan seluruh arus kas masuk sebagai pendapatan legal daerah.


Terakhir, daerah harus membangun Diplomasi Fiskal yang cerdas, bukan sekadar koordinasi administratif. Pemda harus hadir ke pemerintah pusat dengan narasi yang berbasis data dan kesiapan proyek, bukan dengan kalimat “kami butuh anggaran”. Bahasa baru yang harus digunakan adalah: “Jika pusat ingin daerah mandiri, beri kami akses fiskal dan platform ekonomi, bukan hanya transfer dana.” Untuk itu, perlu dibentuk Tim Lobi Fiskal Daerah dengan amunisi argumentasi yang kuat dan proposal siap jalan, sehingga proyek strategis daerah bisa masuk dalam ekosistem proyek prioritas nasional versi daerah.


TEKNIS IMPLEMENTASI KECERDASAN FISKAL DAERAH


Langkah pertama adalah melakukan Audit Kapasitas Fiskal dan Pemetaan Kebocoran. Ini bukan audit administrasi biasa, tetapi audit berbasis arus aktivitas ekonomi dan aliran kas riil masyarakat. Pemda harus mengidentifikasi dua hal: (1) pendapatan yang sudah ada tapi bocor, dan (2) aktivitas ekonomi yang terjadi tetapi tidak tercatat sebagai objek fiskal. Contoh: ratusan event lokal, jasa logistik mikro, transaksi digital UMKM, atau influencer lokal yang menghasilkan uang tanpa pernah masuk radar fiskal daerah. Dari sini, Pemda memperoleh peta kecerdasan fiskal, bukan sekadar tabel pajak dan retribusi tradisional.


Tahap kedua adalah Mendesain ulang PAD menjadi Business Model 3.0, yaitu model fiskal berbasis platform dan arsitektur ekosistem, bukan pajak konvensional. Logikanya: daerah tidak memungut pajak di depan, tetapi menyediakan ekosistem digital atau layanan resmi, lalu mengambil bagian dari arus transaksi. Misalnya, Pemda membuat Platform Event Daerah yang menjadi “pintu masuk resmi” untuk booking WO, sewa tenda, jasa dokumentasi, atau perizinan acara. Semua pelaku usaha masuk secara sukarela karena platform memberi akses pasar dan legalitas cepat. Fee kecil dan legal dari setiap transaksi menjadi sumber PAD baru yang diterima wajar oleh pelaku usaha karena memberikan nilai tambah, bukan beban.


Langkah ketiga adalah Rasionalisasi Belanja dengan pendekatan Zero Waste Budgeting. Setiap rupiah belanja daerah harus diuji terhadap pertanyaan: Apakah belanja ini menghasilkan arus ekonomi baru atau hanya mempertahankan rutinitas birokrasi? Program yang hanya menyerap anggaran tanpa dampak fiskal harus dihentikan atau dialihkan ke belanja berbasis arus kas. Contoh konkret: alih-alih menganggarkan pembangunan gedung pelatihan, Pemda dapat bermitra dengan co-working space lokal dan hanya membayar berdasarkan jumlah peserta. Hasilnya, belanja menjadi berbasis kinerja dan tidak ada aset tidur yang menguras APBD.


Tahap keempat adalah Membangun Koalisi Fiskal Lintas Aktor. Pemda tidak bisa bergerak sendirian. Perlu dibentuk Koalisi Fiskal yang melibatkan DPRD, pelaku usaha, komunitas digital, akademisi, dan media lokal. Koalisi ini bertugas menyamakan narasi: bahwa kemandirian fiskal bukan soal menaikkan pajak, tetapi memperluas pergerakan ekonomi dan membangun platform distribusi nilai. Dengan narasi ini, resistensi politik dapat diubah menjadi dukungan karena aktor-aktor lokal melihat peluang ekonomi, bukan ancaman pajak.


Tahap kelima adalah Menggunakan Skema Fiskal Kreatif melalui KPBU Mikro, crowdfunding daerah, dan Social Impact Investment. Banyak proyek daerah sebenarnya tidak membutuhkan APBD, hanya butuh desain model bisnis dan kanal pendanaan alternatif. Misalnya, untuk mengembangkan pasar digital UMKM, Pemda tidak perlu menganggarkan belanja infrastruktur—cukup membuka izin, menyiapkan desain bisnis, lalu melelang hak operasional kepada investor lokal atau komunitas teknologi dengan skema bagi hasil 30:70. Skema ini menciptakan arus PAD tanpa belanja, sekaligus mempercepat kehadiran layanan publik berbasis pasar.


Jika strategi ini dijalankan secara disiplin, daerah tidak lagi bergantung pada transfer pusat atau pajak tradisional, tetapi menjadi aktor fiskal yang cerdas, adaptif, dan mampu menciptakan arus ekonomi baru secara mandiri.


REKOMENDASI AKSI 90 HARI UNTUK KEPALA DAERAH


Dalam 0–30 hari pertama, kepala daerah perlu melakukan audit fiskal secara menyeluruh dan sekaligus membentuk Tim Kecerdasan Fiskal sebagai unit analisis strategis. Langkah awal ini akan menghasilkan peta potensi pendapatan daerah serta identifikasi titik-titik kebocoran fiskal yang selama ini tidak tertangani secara sistematis.


Memasuki fase 30–60 hari, hasil audit diterjemahkan menjadi uji coba model Pendapatan Asli Daerah (PAD) skala mikro melalui pendekatan berbasis wilayah atau sektor tertentu. Pada saat yang sama, dilakukan sosialisasi intensif kepada OPD dan DPRD untuk membangun pemahaman dan menyelaraskan kepentingan politik dan eksekutif. Target dari fase ini adalah lahirnya pilot project PAD dan terbentuknya komitmen politik-eksekutif yang solid.


Selanjutnya, dalam 60–90 hari, daerah mulai masuk ke tahap aktivasi model bisnis daerah dengan mengubah pendekatan belanja menjadi investasi fiskal yang produktif. Pada fase ini juga dilakukan desain ulang parsial terhadap APBD agar lebih adaptif dan responsif terhadap potensi pendapatan baru. Output tahap ini adalah proposal APBD adaptif lengkap dengan model revenue baru yang siap dinegosiasikan secara politik dan dijalankan secara teknokratis.


PENEGASAN AKHIR – MEMBANGUN FISCAL INTELLIGENCE LEADERSHIP


Memasuki era fiskal baru, kecerdasan fiskal (fiscal intelligence) menjadi kualitas kepemimpinan yang membedakan daerah biasa dan daerah yang melompat maju. Kepatuhan administrasi saja tidak cukup. Pemda harus naik kelas: dari sekadar mengelola anggaran menjadi arsitek ekosistem ekonomi lokal yang mampu menciptakan arus nilai dan mengkonversinya menjadi pendapatan daerah.


Pesannya sederhana tapi tegas:

“Jangan terjebak dalam akuntansi pasif. Masuklah ke logika ekonomi aktif.”

Artinya, jangan hanya mencatat uang yang masuk dan keluar akan tetapi rancang pergerakan ekonomi yang membuat uang terus bergerak dan mengalir balik ke kas daerah secara sah dan produktif.


Daerah yang pasif akan terus hidup dari transfer pusat. Ia menunggu, mengikuti, dan selalu berada di posisi defensif.

Sebaliknya, daerah yang membangun arsitektur fiskal sendiri akan menjadi pemain utama. Ia mengendalikan platform ekonomi, menciptakan pasar, dan memposisikan dirinya bukan sebagai penunggu kebijakan, tetapi sebagai aktor fiskal yang menentukan arah permainan. Inilah esensi Fiscal Intelligence Leadership, kepemimpinan yang tidak hanya menghitung anggaran, tetapi mendesain masa depan fiskal daerah.(opini)

Tags

Posting Komentar

0Komentar

Please Select Embedded Mode To show the Comment System.*

Melayani permintaan peliputan dan pemasangan iklan banner. Marketing Director (Email: redaksiliputanntt@gmail.com.Contact Person:081236630013). Alamat Redaksi: Jl. Oekam, RT 13/RW 005 Kelurahan Sikumana, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang, NTT. Email: redaksiliputanntt@gmail.com. Tlp/Hp: 081236630013 Rekening: BRI: No. Rek. 467601014931533 a.n. Hendrik Missa Bank NTT: No. Rek. 2503210258 a.n. Hendrik Missa