KUPANG, LIPUTANNTT.Com,Tahun ini berakhir dengan satu pesan yang tidak bisa diabaikan: dunia sedang berjalan menuju era turbulensi yang semakin brutal. Konflik antarnegara bukan lagi kejutan, tetapi konsekuensi logis dari struktur global yang rapuh, sumber daya yang menyusut, serta ketidakpercayaan yang tumbuh tanpa kendali. Refleksi ini mencoba memaknai dinamika tersebut sebagai bagian dari sumbangan pemikiran bagi umat manusia, agar kita tidak terus terjerumus ke jurang yang sebenarnya bisa dihindari.
Sumber dari kegaduhan global berawal dari perebutan sumber daya alam. Energi, misalnya, menjadi pemicu banyak konflik yang tampak seolah-olah berlandaskan geopolitik murni. Invasi Rusia ke Ukraina bukan sekadar perebutan wilayah; ia adalah perebutan akses energi, kendali jalur pasokan, dan upaya menegaskan pengaruh terhadap Eropa. Laut Cina Selatan menjadi contoh lain: di bawah perairannya tersimpan cadangan minyak dan gas yang membuatnya menjadi salah satu kawasan paling tegang di dunia. Negara-negara di sekitarnya tidak hanya memperjuangkan kedaulatan teritorial, tetapi juga masa depan energi mereka.
Krisis ini tidak berhenti pada minyak dan gas. Air kini menjadi komoditas strategis yang semakin langka. Sungai Nil, Mekong, dan sejumlah sungai internasional lain telah berubah menjadi arena pertarungan pengaruh. Negara hulu menuntut hak memanfaatkan air lebih besar untuk kebutuhan domestik, sementara negara hilir menyadari bahwa ancaman pada aliran air sama artinya dengan ancaman pada keberlangsungan hidup. Kita hidup pada abad ketika air tidak lagi sekadar sumber kehidupan, tetapi juga alat tawar-menawar geopolitik yang sangat keras.
Selain sumber daya fisik, teknologi menjadi sumber daya baru yang diperebutkan dengan intensitas lebih besar. Chip semikonduktor, kecerdasan buatan, hingga eksplorasi luar angkasa telah berubah menjadi medan perang baru. Kompetisi Amerika Serikat dan China tidak hanya terjadi di ranah ekonomi, tetapi juga pada level fundamental tentang siapa yang akan mengarahkan masa depan peradaban digital. Dunia menyaksikan kedua raksasa ini berlomba menguasai standar teknologi global, sementara negara-negara lain terjebak pada pilihan yang tidak pernah benar-benar bebas.
Di sini, perlu ditambahkan bahwa "perang sumber daya abad 21" kini sudah bergeser ke material kunci transisi hijau itu sendiri: lithium, kobalt, nikel, dan rare earth elements. Congo, yang menguasai 60–70% kobalt dunia, sedang menjadi "Ukraina baru" versi Afrika—dikuasai milisi dan dibiayai secara tak langsung oleh perusahaan Barat serta China. Indonesia sendiri duduk di atas 20–25% cadangan nikel dunia, dan kita sedang mengalami "resource nationalism" versi soft melalui larangan ekspor bijih serta kewajiban pembangunan smelter. Pertanyaannya: apakah kita siap ketika perebutan ini berpindah dari Laut China Selatan ke Sulawesi dan Maluku? Transisi hijau yang dijual sebagai "solusi damai" justru bisa melahirkan konflik baru jika tidak diatur dengan tata kelola global yang adil.
Di balik perebutan sumber daya tersebut, ada naluri dominasi yang tidak pernah padam. Negara sebagai entitas politik hidup memiliki insting untuk bertahan, berkembang, dan menguasai. Dalam konflik Amerika Serikat dan China, misalnya, yang terjadi adalah kompetisi struktural yang hampir tak terhindarkan. Amerika berusaha mempertahankan tatanan dunia yang dibangun selepas Perang Dunia II, sementara China dengan kepercayaan diri yang baru menemukan momentumnya untuk menantang dominasi tersebut. Perang dagang, perang teknologi, dan perang narasi merupakan manifestasi dari perebutan legitimasi sebagai pemimpin global.
Eropa berada dalam posisi yang sulit. Kekuatannya secara historis memudar, sementara perpecahan internal membuatnya semakin rapuh. Perang Ukraina menunjukkan ketergantungannya pada energi luar, sekaligus memperlihatkan bahwa Eropa tidak lagi memiliki kapasitas strategis untuk menentukan arah dunia seperti sebelumnya. Di Timur Tengah, persaingan tidak hanya memperebutkan wilayah atau minyak. Negara-negara di kawasan itu juga bertarung untuk menentukan arah identitas politik dan keagamaan dunia Islam. Konflik yang tampak ideologis sering kali merupakan pertarungan pengaruh dalam bentuk yang lebih halus.
Semua dinamika itu digerakkan oleh satu hal yang sering diremehkan: ketakutan. Negara memperkuat militernya bukan untuk menyerang, melainkan untuk berjaga-jaga. Namun setiap langkah defensif dibaca sebagai ancaman oleh yang lain. Spiral ketakutan inilah yang mendorong perlombaan senjata dan kebijakan agresif. Ketakutan akan kehilangan identitas peradaban juga memainkan peran penting. Barat khawatir model demokrasi liberal akan kalah bersaing dengan otoritarianisme efisien ala China. China, pada sisi lain, memandang dominasi Barat sebagai ancaman terhadap kebangkitan nasionalnya. Dunia Islam merasakan tekanan narasi global yang sering kali mereduksi kontribusi sejarah dan intelektualnya.
Ketakutan yang paling berbahaya, bagaimanapun, adalah ketakutan eksistensial akan menjadi "negara yang tak lagi relevan" di abad 21. Eropa takut jadi "museum peradaban". Rusia takut jadi "pom bensin dengan bom nuklir". Dunia Arab takut jadi "penyedia minyak yang akan usang dalam 30 tahun". Indonesia? Kita masih belum jelas narasi besar kita di abad ini—apakah jadi "pabrik baterai dunia", "penjaga maritim Indo-Pasifik", atau hanya "penonton yang baik hati"? Ketakutan akan irrelevance ini yang membuat negara-negara bertindak irasional: lebih baik jadi "penutup berita" daripada "tak disebut sama sekali".
Di bawah permukaan semua itu, ada bentuk-bentuk perang baru yang berjalan tanpa suara. Perang siber kini mampu melumpuhkan kota hanya dengan satu serangan. Rumah sakit, sistem listrik, perbankan, hingga jaringan militer bisa berhenti berfungsi dalam hitungan detik. Perang informasi, dengan disinformasi terstruktur, melemahkan negara dari dalam menyebarkan polarisasi, menurunkan kepercayaan publik, dan menggerus legitimasi pemerintah. Perang ekonomi melalui embargo dan sanksi telah menggantikan banyak perang fisik karena dampaknya jauh lebih menghancurkan tanpa perlu menembakkan peluru.
Selain perang siber dan disinformasi, kini ada doktrin baru yang dikembangkan NATO dan China secara paralel: cognitive warfare yaitu perang untuk menguasai cara berpikir suatu bangsa. Bukan lagi soal narasi mana yang menang, tapi soal algoritma mana yang menentukan realitas 500 juta pemuda di dunia berkembang tiap hari. TikTok, Instagram, sampai AI-generated content sedang menjadi medan tempur yang lebih berbahaya daripada kapal perang di Laut China Selatan, karena dampaknya permanen: ia mengubah nilai, identitas, dan mimpi generasi muda tanpa mereka sadari. Ini belum banyak masuk radar publik Indonesia, tapi ancamannya sudah nyata.
Semua fenomena itu memaksa kita untuk merefleksikan arah peradaban manusia. Kekurangan pemimpin visioner menjadi masalah besar. Banyak pemimpin dunia fokus pada masalah jangka pendek demi kepentingan politik domestik, sehingga kehilangan keberanian untuk mengambil keputusan yang diperlukan demi stabilitas jangka panjang. Sementara itu, kepercayaan internasional terus runtuh. Negara mencurigai satu sama lain, bahkan dalam aliansi resmi sekalipun. Hubungan internasional berubah menjadi arena kompetisi nol-sum, padahal persoalan seperti iklim, pangan, epidemi, dan keamanan global membutuhkan kerja sama lintas batas.
Lebih tragis lagi, nilai kemanusiaan semakin terpinggirkan. Tragedi di Gaza, konflik di Sudan, dan pelarian jutaan pengungsi Rohingya memperlihatkan betapa dunia kini semakin toleran terhadap penderitaan manusia. Nasionalisme sempit, kepentingan ekonomi, dan kalkulasi politik sering kali mengalahkan nilai moral yang seharusnya menjadi dasar peradaban.
Dalam konteks refleksi ini, diperlukan gagasan yang lebih maju. Transisi energi ke sumber terbarukan harus dilihat bukan hanya sebagai kebijakan lingkungan, tetapi sebagai strategi geopolitik yang membuat dunia lebih stabil. Ketergantungan pada energi fosil adalah akar dari banyak konflik; kemerdekaan energi di banyak negara akan mengurangi potensi perang di masa depan. Teknologi harus menjadi ruang kolaborasi global. Kecerdasan buatan dan bioteknologi tidak bisa dibiarkan terjebak dalam logika dominasi. Dunia membutuhkan norma internasional untuk memastikan teknologi tidak digunakan sebagai alat penindasan.
Lebih jauh lagi, kita membutuhkan diplomasi peradaban. Dialog antarperadaban blok Barat, Timur, dunia Islam, Afrika, Asia Selatan hendaklah harus dibangun sebagai upaya membangun pemahaman mendalam, bukan sekadar negosiasi politik yang bersifat transaksional. Konflik peradaban hanya bisa diredakan jika masing-masing pihak bersedia melihat dunia dari lensa yang lebih luas.
Untuk membuat ini lebih realistis (bukan utopis), Indonesia bisa memimpin inisiatif operasional seperti Middle-Power Coalition on Critical Minerals: koalisi negara kaya mineral (Congo, Chile, Australia, Bolivia, dll.) untuk membuat "OPEC versi mineral hijau". Tujuannya bukan kartel harga, tapi menjamin alokasi yang adil, standar lingkungan, dan larangan penggunaan mineral untuk senjata otonom. Ini jauh lebih feasible daripada menunggu G20 sepakat. Selain itu, ASEAN bisa jadi yang pertama di dunia membuat ASEAN Digital Bill of Rights yakni kesepakatan regional soal batas-batas AI, deepfake politik, dan cognitive warfare. Kalau Eropa punya GDPR, kenapa ASEAN tidak punya "ASEAN Digital Dignity Pact"? Ini akan menempatkan kita di depan Barat dan China sekaligus dan dapat menjadi modal diplomasi yang sangat kuat.
Akhir tahun ini mengingatkan kita bahwa sejarah tidak sedang menunggu. Dunia sedang berubah cepat, dan perubahan itu bisa mengarah pada kemajuan atau kehancuran. Umat manusia berada di tengah persimpangan itu. Kita harus memutuskan: apakah akan terus mengikuti logika kekuatan dan ketakutan, atau berani membangun tatanan baru yang lebih adil dan manusiawi.
Harapan bukanlah hadiah; ia harus diperjuangkan. Dan perjuangan itu tidak dimulai dari pemerintah atau lembaga internasional, tetapi dari kesadaran kolektif umat manusia bahwa kita berbagi satu planet, satu masa depan, dan satu tanggung jawab bersama. Tanpa keberanian moral, dunia akan terus meluncur ke arah yang lebih gelap. Tetapi selama manusia masih mampu berpikir, merasa, dan belajar, masa depan tidak harus suram.
Yang membedakan sekarang dengan era Perang Dingin adalah: dulu ancaman kehancuran datang dari atas (nuklir), sekarang dari dalam (perpecahan sosial, hilangnya makna bersama, dan algoritma yang memisahkan kita dari realitas). Mungkin tugas terbesar generasi ini bukan mencegah Perang Dunia III dalam bentuk klasik, tapi mencegah "Perang Dunia Kognitif" yang membuat kita saling membenci tanpa tahu mengapa dan tanpa pernah bertemu di medan perang fisik. Kita masih punya waktu. Tidak banyak, tapi cukup jika digunakan dengan bijak. kita masih percaya bahwa Indonesia punya potensi jadi "suara hati nurani" di tengah dunia yang semakin ganas.(*)

