Kupang, LIPUTANNTT.com,Ketika mesin ekspor tersendat dan investasi belum sepenuhnya pulih, satu-satunya tumpuan yang tersisa untuk menjaga roda ekonomi Indonesia tetap berputar adalah daya beli rakyat. Dalam struktur ekonomi nasional, konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 55 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Artinya, melemahnya daya beli sama saja dengan kehilangan denyut nadi utama ekonomi nasional.
Strategi “pompa daya beli”, baik melalui kebijakan fiskal, subsidi, maupun stimulus langsung, bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan struktural. Ia menjadi langkah realistis untuk menahan gejolak ekonomi global sekaligus memperkuat fondasi ekonomi domestik berbasis konsumsi rakyat.
Kebijakan yang Bernapas Sosial:
Kebijakan pemerintah menaikkan gaji ASN dan pensiunan pada 2025 sering kali dibaca secara sempit sebagai langkah populis menjelang tahun politik. Padahal, bila dianalisis dengan kacamata ekonomi makro, keputusan ini adalah instrumen fiskal dengan efek pengganda (multiplier effect) yang signifikan terhadap konsumsi nasional.
Setiap kenaikan gaji ASN sebesar 10 persen, misalnya, dapat meningkatkan konsumsi rumah tangga sekitar 0,3 hingga 0,5 persen. Dengan lebih dari 4,3 juta ASN aktif dan 2,8 juta pensiunan, dampak totalnya terhadap sirkulasi uang di pasar domestik mencapai puluhan triliun rupiah. Ini berarti dana segar langsung masuk ke ekonomi riil, menggerakkan perdagangan, jasa, dan UMKM di berbagai daerah.
Namun, persoalannya bukan hanya bagaimana memompa, tetapi di mana uang itu mengalir. Jika stimulus fiskal hanya berhenti di konsumsi kelas menengah atas seperti belanja impor, gaya hidup digital, atau produk non-lokal, maka efek penggandanya menjadi rendah. Karena itu, desain kebijakan daya beli harus disertai mekanisme penyaring kebocoran ekonomi agar dana berputar di sektor domestik yang padat karya.
Daya Beli dan Struktur Kelas Menengah:
Kelas menengah Indonesia kini berada pada titik rawan. Setelah pandemi, banyak keluarga yang dulunya “mapan” kini menjadi “nyaris miskin”, masih bekerja tetapi kehilangan daya beli akibat kenaikan harga pangan, biaya energi, dan cicilan. Inilah yang disebut kelas menengah rapuh (fragile middle class).
Menurut data BPS 2024, pertumbuhan konsumsi rumah tangga melambat di kisaran 4,8 persen, lebih rendah dari periode pra-pandemi yang mencapai 5,4 persen. Artinya, masyarakat masih menahan belanja karena beban harga pokok dan ketidakpastian pendapatan.
Dalam konteks ini, kebijakan pompa daya beli harus diarahkan tidak hanya untuk menambah uang di saku rakyat, tetapi juga menjamin stabilitas harga. Peningkatan konsumsi tanpa kendali harga hanya akan menciptakan inflasi semu, di mana uang memang bertambah tetapi nilainya menyusut. Oleh karena itu, penguatan daya beli harus berjalan paralel dengan pengendalian inflasi, terutama pada komoditas pangan strategis seperti beras, daging, dan energi.
Ekonomi Mikro sebagai Penerima Dampak Langsung:
Salah satu kelemahan kebijakan fiskal konvensional adalah efeknya sering tidak langsung dirasakan oleh pelaku mikro. Padahal, 97 persen tenaga kerja Indonesia bergerak di sektor UMKM, dan mayoritas mereka bergantung pada permintaan lokal.
Pompa daya beli yang efektif harus mampu menciptakan sirkulasi ekonomi di level bawah, bukan sekadar mendorong angka pertumbuhan makro. Misalnya, melalui:
Subsidi berbasis digital untuk pembelian produk lokal di pasar daring nasional.
Voucher konsumsi elektronik yang hanya dapat digunakan untuk produk UMKM, seperti yang sukses dilakukan di Tiongkok dan Korea Selatan.
Peningkatan akses pembiayaan mikro dengan bunga rendah dan syarat ringan.
Dengan cara ini, pompa daya beli bukan hanya menghidupkan konsumsi, tetapi juga membangun ketahanan ekonomi rakyat kecil dengan menciptakan kemandirian dari bawah, bukan ketergantungan dari atas.
Efek Multiplier yang Terukur:
Setiap tambahan Rp1 triliun belanja konsumsi domestik diperkirakan menambah sekitar Rp1,4 triliun terhadap PDB, tergantung tingkat kandungan lokal dan kecepatan sirkulasi uang. Karena itu, kualitas belanja lebih penting daripada kuantitas stimulus.
Kebijakan fiskal harus diarahkan pada sektor-sektor dengan efek pengganda tinggi seperti pertanian rakyat, perdagangan lokal, industri makanan-minuman, transportasi, dan layanan publik berbasis teknologi. Inilah sektor yang cepat merespons tambahan permintaan tanpa memicu lonjakan impor besar.
Namun, keberhasilan pompa daya beli tidak hanya diukur dari pertumbuhan PDB, melainkan juga dari indikator kesejahteraan mikro: penurunan rasio gini, peningkatan upah riil, dan penurunan tingkat kemiskinan ekstrem. Tanpa perbaikan pada indikator-indikator tersebut, pompa daya beli hanya akan menjadi perputaran uang di antara segelintir orang, bukan penggerak kesejahteraan nasional.
Risiko dan Tantangan Kebijakan:
Setiap kebijakan ekspansif tentu memiliki konsekuensi. Peningkatan belanja pemerintah untuk memompa daya beli berarti tekanan pada defisit anggaran dan utang publik. Namun, di tengah tekanan ekonomi global, risiko itu bisa diterima selama dilakukan secara terkendali dan produktif.
Masalah terbesar justru bukan pada besarnya stimulus, melainkan pada efektivitas dan akurasi sasarannya. Sejarah mencatat, banyak program bantuan sosial atau insentif konsumsi gagal karena tumpang tindih data, distribusi tidak tepat, atau kebocoran administrasi.
Solusinya bukan memangkas bantuan, tetapi memperkuat integrasi data sosial ekonomi melalui sistem digital terpadu seperti Single Data Indonesia. Dengan demikian, setiap rupiah stimulus dapat ditelusuri manfaat dan dampaknya secara nyata, bukan sekadar laporan di atas kertas.
Inovasi Fiskal Era Digital:
Pompa daya beli di era digital tidak bisa lagi bergantung pada pendekatan klasik berupa transfer tunai semata. Pemerintah perlu melangkah lebih jauh dengan kebijakan fiskal inovatif berbasis teknologi.
Beberapa contoh kebijakan yang dapat diterapkan:
1. E-Voucher Konsumsi Lokal, yakni bantuan berbentuk saldo elektronik yang hanya dapat digunakan untuk transaksi di aplikasi resmi pemerintah dan mitra UMKM. Sistem ini menekan kebocoran sekaligus memastikan dana berputar di ekonomi domestik.
2. Insentif Pajak Konsumsi Produk Lokal, berupa pengurangan PPN sementara untuk produk dalam negeri, sehingga harga lebih kompetitif dan mendorong pergeseran konsumsi dari impor ke lokal.
3. Program Digital Food Subsidy, yaitu subsidi pangan berbasis QR Code yang menekan praktik penyelewengan sekaligus mempercepat distribusi bantuan ke daerah-daerah terpencil.
Langkah-langkah ini tidak hanya mendorong daya beli, tetapi juga mempercepat digitalisasi ekonomi rakyat yang saling memperkuat antara konsumsi dan transformasi digital.
Menjaga Inflasi, Menjaga Kepercayaan:
Kekuatan daya beli tidak bisa dilepaskan dari kepercayaan masyarakat terhadap stabilitas harga dan nilai uang. Bila masyarakat khawatir harga akan terus naik, maka kecenderungan menabung meningkat dan konsumsi tertahan. Karena itu, manajemen ekspektasi inflasi menjadi bagian tak terpisahkan dari strategi pompa daya beli.
Bank Indonesia dan pemerintah daerah perlu memperkuat sinergi dalam menjaga suplai pangan, menekan biaya logistik, dan memastikan keterjangkauan harga energi. Data BI 2025 menunjukkan bahwa 40 persen sumber inflasi berasal dari gangguan pasokan, bukan permintaan. Artinya, stabilitas harga adalah soal efisiensi distribusi, bukan semata kendali moneter.
Dengan demikian, kebijakan pompa daya beli tidak boleh dilihat sebagai ancaman terhadap inflasi, melainkan sebagai upaya menyeimbangkan kembali permintaan dan penawaran dalam perekonomian nasional.
Refleksi Akademik: Ekonomi untuk Rakyat, Bukan Statistik:
Dalam perspektif akademik, pompa daya beli adalah intervensi fiskal berorientasi kesejahteraan (welfare-oriented fiscal policy), yakni kebijakan yang menempatkan kesejahteraan rakyat di atas indikator makro nominal.
Ekonomi yang sehat tidak diukur semata dari pertumbuhan angka PDB, tetapi dari kemampuan rakyat memenuhi kebutuhan dasarnya secara berkelanjutan. Bila daya beli melemah, maka seluruh pencapaian makro menjadi semu, ibarat tubuh kekar dengan nadi yang lemah.
Oleh karena itu, strategi pompa daya beli sejatinya bukan hanya kebijakan jangka pendek, melainkan agenda ekonomi jangka panjang berbasis keadilan sosial. Tujuannya bukan sekadar menambah uang di tangan rakyat, tetapi memperkuat posisi mereka dalam struktur ekonomi. Ini sejalan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan.
Menutup Celah Kebijakan:
Untuk memastikan keberlanjutan strategi ini, pemerintah perlu menutup tiga celah utama. Pertama, kelemahan koordinasi lintas lembaga, di mana kebijakan fiskal, moneter, dan sosial masih berjalan sendiri-sendiri. Kedua, kurangnya instrumen evaluasi berbasis data mikro, sehingga sulit mengukur dampak kebijakan secara nyata. Ketiga, minimnya peran daerah, padahal daya beli paling nyata berputar di pasar-pasar lokal.
Jika ketiga celah ini ditutup, maka strategi pompa daya beli tidak hanya menjadi kebijakan reaktif, tetapi rancang bangun ekonomi nasional yang berpihak pada rakyat.
Penutup:
Daya beli bukan sekadar istilah ekonomi. Ia adalah cermin nyata kemampuan rakyat untuk hidup bermartabat. Memompa daya beli berarti menghidupkan kembali harapan rakyat kecil, seperti pedagang pasar, nelayan, petani, buruh pabrik, dan pekerja informal yang menjadi tulang punggung ekonomi bangsa.
Pompa daya beli adalah strategi pertahanan ekonomi rakyat, bukan sekadar kebijakan fiskal. Ia memberi nafas pada sektor riil, menjaga stabilitas sosial, dan menegaskan bahwa kekuatan ekonomi Indonesia sesungguhnya tidak terletak pada cadangan devisa atau investasi asing, tetapi pada dompet rakyat yang berputar di pasar lokal.
Selama pemerintah mampu menjaga keseimbangan antara stimulus, inflasi, dan produktivitas, maka strategi ini akan menjadi pondasi menuju kemandirian ekonomi yang sejati, yaitu ekonomi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk kesejahteraan rakyat.(**)

